Di dunia perpajakan sendiri istilah bagi hasil sudah cukup dikenal yakni Join Operation (JO), di bidang pertambangan migas, pertambangan lainnya, bank syariah, dan kerja sama operasi (KSO) di PT. Telkom.
Atas beberapa kasus yang terungkap yang menurut pihak tertentu termasuk kriteria bagi hasil, yakni :
- Pihak A mempunyai Ruko danPihak B ingin membuka usaha, B ingin menggunakan ruko A maka dibuatlah kesepakatan bagi hasil. B harus menyerahkan setiap bulan 10% dari omzet perbulan namun apabila nilainya dibawah Rp. 500.000,- maka nilai yang diberikan ke A adalah Rp. 500.000,-
- A pemegang merk “TOP” karena tidak memilki modal maka menyerahkan hak merk ke B, atas ini disepakati bagi hasil A akan diberikan 10% dari omzet setahun.
- A memiliki lahan sedangkan B adalah kontraktor maka disepakati A akan diberikan bagi hasil 40% dari nilai jual.
- A memilki kendaraan sedangkan B memiliki usaha maka disepakati bagi hasil 15% dari omzet setiap bulannya .
Nah mari kita bahas kasus perkasus, untuk kasus pertama menurut saya esensinya adalah B menyewa ruko kepada A, kasus kedua B menggunakan lisensi B, kasus ketiga adalah jual beli tanah, dan kasus ke empat adalah sewa kendaraan. Namun hanya saja cara pembayarannya saja dilakukan dengan cara bagi hasil.
Untuk dapat menerapkan ketentuan perpajakan yang tepat untuk itulah dilihat dari esensi transaksi yag terjadi sehingga untuk kasus di atas ketentuan yang tepat untuk kasus pertama sewa tanah dan/atau bangunan, kasus kedua adalah pemakaian lisensi/royalti, kasus ketiga pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, dan yang ke empat adalah sewa aktiva.
Dan pada akhirnya jika kasusnya dilihat seperti ini maka menurut saya belum perlu ketentuan/peraturan tersendiri mengenai ketentuan bagi hasil atas contoh kasus di atas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar