- UU PPh nomor 7 tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU PPh nomor 36 tahun 2008.
- Peraturan Pemerintah nomor 29 tahun 1996 sebagaimana telah diubah terakhir dengan PP No. 5 tahun 2002;
- Keputusan Menteri Keuangan nomor 394/KMK.04/1996 sebagaimana telah diubah terakhir dengan KMK no. 120/KMK.03/2002
- Keputusan Direktur Jenderal Pajak nomor 227/PJ/2002
Jika begitu apa yang menjadi Dasar Pengenaan Pajak(DPP)nya ? yang menjadi dasar pengenaan pajaknya adalah nilai bruto dari nilai transaksinya, yang menjadi pengertian nilai brutonya adalah semua jumlah yang dibayarkan atau terutang oleh pihak yang menyewa dengan nama dan dalam bentuk apapun yang berkaitan dengan tanah dan atau bangunan yang disewa, termasuk biaya perawatan, biaya pemeliharaan, biaya keamanaan dan service charge baik yang perjanjiannya dibuat secara terpisah maupun yang disatukan dengan perjanjian persewaan yang bersangkutan.
Sudah jelas kan ? yang terakhir adalah tarifnya.. jadi tarif PPh Pasal 4 ayat (2) UU PPh untuk sewa tanah bangunan sesuai PP nomor 5 tahun 2002 adalah 10% sehingga perhitungannya untuk mendapatkan nilai PPh Pasal 4 ayat (2) atas sewa tanah dan/atau bangunan adalah :
DPP x 10%
Nah sekarang baru kita lihat aspek perpajakan dari pihak pemilik
tempat(yang menyewakan). PPh Pasal 4 ayat (2) UU PPh atas sewa tanah
dan/atau bangunan pada dasarnya adalah dipotong oleh pemberi penghasilan
atau penyewa sehingga yang menyewakan (pemilik tempat/gedunng)
seharusnya menerima bukti pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) pada saat
pembayaran atau pada saat seharusnya terutang PPh Pasal 4 ayat (2).
Dengan demikian nilai yang diterima yang menyewakan(pemilik
tempat/gedung) adalah nilai bersihnya.Namun demikian jika penyewa tidak memiliki NPWP atau kedudukannya lebih rendah dari yang menyewakan, misalnya yang menyewakan berbentuk badan hukum seperti PT, CV, dan BUT sedangkan yang menyewa adalah perorangan maka pelunasan PPh Pasal 4 ayat (2) dilakukan dengan penyetoran sendiri oleh yang menyewakan dengan menggunakan SSP yang penyetorannya paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya dari saat dibayarkan nilai sewa atau pada saat seharusnya terutangnya sewa.
Sekarang yang terakhir dari sisi yang menyewakan mengenai kewajiban pelaporannya bagaimana ? Kewajiban pelaporannya ada dua, ketika yang menyewakan diposisi yang dipotong maka kewajiban pelaporannya ada pada SPT Tahunan PPh Badan/Orang Pribadi. Bukti potong yang diterima wajib dilampirkan pada SPT Tahunan tersebut dan yang kedua jika pada posisi melakukan penyetoran sendiri maka yang menyewakan wajib menyampaikan SPT PPh Pasal 4 ayat setiap bulannya jika terjadi pembayaran atau pada saat sewa seharusnya terutang yang disampaikan paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya.
Perlu juga diketahui karena penghasilan sewa tanah dan/atau bangunan adalah salah satu dari obyek PPh Pasal 4 ayat (2) UU PPh yang merupakan PPh final maka jika yang menyewakan (penerima penghasilan) memiliki penghasilan lain yang dikenakan PPh tidak final maka pembukuan wajib dipisah sedangkan jika yang menyewakan (pemilik tempat/gedung) penghasilannya semata-mata dari sewa tanah dan/atau bangunan ini maka tidak perlu menyetorkan PPh Pasal 25.
Akhirnya sekarang kita melihat aspek perpajakan dari sisi penyewa, kembali seperti apa yang saya sampaikan sebelumnya pada dasarnya pelunasan PPh Pasal 4 ayat (2) sewa tanah dan/atau bangunan adalah dengan cara pemotongan, untuk itu penyewa sebagai pemotong pajak wajib memotong PPh Pasal 4 ayat (2) atas sewa tanah dan/atau bangunan dari penghasilan yang dibayarkan ke yang menyewakan (pemilik tempat/gedung) dan memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2), bukti pemotongan dibuat pada saat pembayaran atau pada saat sewa tanah dan/atau bangunan terutang, mana yang terlebih dahulu, atas PPh Pasal 4 ayat (2) yang terutang ini wajib disetorkan oleh penyewa paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya dari saat pembayaran atau saat nilai sewa terutang (mana yang terjadi lebih dahulu).
Lalu bagaimana kedudukan penyewa yang kedudukannya lebih rendah dari yang menyewakan? Karena jika penyewa kedudukan lebih rendah dari yang menyewakan maka penyewa bukan pada posisi pemotong pajak, untuk itu nilai yang dibayarkan ke yang menyewakan (pemilik tempat/gedung) adalah nilai keseluruhan tanpa dipotong PPh Pasal 4 ayat (2). Sehingga penyewa tidak mempunyai kewajiban memotong PPh Pasal 4 ayat (2) namun demikian untuk meyakinkan dalam kondisi ini sebaiknya apabila menggunakan perjanjian maka perlu dicantumkan kewajiban PPh Pasal 4 ayat (2) adalah kewajiban yang menyewakan.
Oh iya satu lagi terakhir.. hehehe..
Mengenai kawajiban pelaporan hanya bagi penyewa yang kedudukannya sebagai pemotong pajak maka atas bukti pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) yang sudah dibuat wajib dilaporkan pada SPT Masa PPh Pasal 4 ayat(2) masa tersebut dan disampaikan ke KPP terdaftar paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya.
Oke deh, kita sudah membahas pengertian sewa, DPP, nilai bruto, formula perhitungan, aspek PPh dari sisi yang menyewakan dan aspek PPh dari penyewa.. Akhirnya semoga dapat dipahami dan dimengerti dan apabila ada yang belum dipahami mari kita diskusikan bersama.. Mangga atuh.. ^_^
Untuk memperjelas berikut handout bahan presentasinya…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar